Minggu, 03 Juni 2012

RONGGO WARSITO

RONGGO WARSITO
Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan piwulang yang sangat berharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
Pada hari Senin Legi tanggal 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 atau tanggal 15 Maret 1802 Masehi kurang lebih jam 12.00 siang lahirlah seorang bayi putra dari RM. Ng. Pajangsworo dirumah kakek yang bernama R. Ng. Yosodipuro I, seorang Pujangga Keraton yang terkenal dijamannya. Bayi yang baru lahir itu diberi nama Bagus Burham.
Menurut serat "CANDRA KANTHA" buatan Raden Ngabehi Tjondropradoto antara lain menyebutkan bahwa : Raden Patah berputera R. Tejo ( Pangeran Pamekas). Pangeran Pamekas berputra Panembahan Tejowulan di Jogorogo.Panembahan Tejowulan berputra Tumenggung Sujonoputro seorang pujangga keraton Pajang. Kemudian Raden Tumenggung Sujonoputro berputra Tumenggung Tirtowiguno. Sedangkan Tumenggung Tirtowiguno ini mempunyai putra R. Ng.Yosodipuro I pujangga keraton Surakarta. Kemudian sang pujangga berputra R. Ng. Yosodipuro II (Raden Tumenggung Sastronegoro) ayah dari Bagus
Burham.
(Dari sumber lain menyebutkan bahwa R. Tumenggung Sastronegoro bukan ayah Bagus Burham tetapi kakeknya). Dari silsilah tersebut diketahui bahwa Bagus Burham masih ada keturunan darah raja.
Sejak umur 2 tahun sampai 12 tahun Bagus Burham ikut kakeknya. Ayahnya bernama R. Tumenggung Sastronegoro II yang mengharapkan anaknya dikelak kemudian hari menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negaranya.

Semasa kecil beliau diasuh oleh
abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik).
Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya
kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian
hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.
Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Menjelang dewasa (1813 Masehi), oleh sang ayah, Bagus Burham dikirim ketempat pendidikan yang memungkinkan dapat mendidik anaknya lebih baik dari dirinya sendiri. Waktu itu pondok Pesantren dikawasan Ponorogo yang dipimpin oleh Kyai Imam Besari terkanal sampai dipusat Kerajaan Surakarta. Kesanalah Bagus Burham dikirim untuk mendapatkan tambahan ilmu lahir batin serta keagamaan. Pondok Tegalsari yang dipimpin Kyai Imam Besari ini mempunyai murid yang banyak dan memiliki kepandaian yang pilih tanding. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanudjaja.
Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-maju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Ponorogo mempunyai tabiat buruk yang berupa kesukaan berjudi. Ditempat yang baru itu Bagus Burham sangat malas. Ditambah lagi lebih suka menjalankan maksiat dari pada mengaji. Berjudi adalah merupakan pekerjaannya setiap hari. Juga pekerjaan maksiat yang lainnya. Adu ayam termasuk kesukaan yang tidak pernah diluangkan. Dari pada mengaji hari-harinya dihabiskan dimeja-meja judi dari satu desa ke desa lainnya. Sehingga terkenallah Bagus Burham bukan sebagai santri yang soleh tetapi sebagai penjudi ulung dikalangan orang-orang di daerah Ponorogo.Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum nampak. Dasar seorang anak Tumenggung, uang banyak dan biasanya dimanja oleh orang tua atau kakeknya. Karena kegemarannya bermain judi, adu ayam dan perbuatan-perbuatan maksiat yang lain Bagus Burham banyak berkenalan dengan warok-warok Ponorogo yang satu kegemaran. Perbuatan putra Tumenggung ini sangat merepotkan hari Kyai Imam Besari. Diharapkan seorang putra priyayi keraton ini akan memberi suri teladan bagi muridmurid(santri-santri) yang lein tetapi ternyata sebaliknya. Seringkali Bagus Burham mendapat teguran dan marah dari Kyai Besari. Namun hal itu tidak merubah sifatnya. Dia tetap penjudi, tetap penyabung ayam, tetap gemar pada tindakan-tindakan yang menjurus ke maksiat.
Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong
yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu.
Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan Ngali, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta. Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.

Kyai Imam Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burham dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda serta neneknya diSolo/Surakarta. Betapa bingungnya Raden Tumenggung Sastronegoro tatkala mendapat laporan Kyai Imam Besari bahwa puteranya pergi dari
Tegalsari. Raden Tumenggung Sastranegara memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta mencarinya.
Kyai Imam Besari kembali dari Keraton Solo mendapat laporan dari penduduk Tegalsari bahwa sekarang daerah Tegalsari tidak aman. Banyak pencuri serta tanaman diserang hama. Kyai Imam Besari memohon petunjuak dari Tuhan. Mendapatkan ilham bahwa keadaan daerahnya akan kembali aman damai apabila Bagus Burham kembali ke Tegalsari lagi. Oleh karena itu Kyai Imam Besari segera mengutus ki Kromoleyo agar supaya berangkat mencari kemana gerangan perginya Bagus Burham. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya. Bagi Ki Kromoleyo bukan pekerjaan yang sulit mencari Bagus Burham. Sebab dia tahu kehidupun macam apa yang digemari Bagus Burham. Tempat judi, tempat adu ayam. Itulah sasaran Ki Kromoleyo.Para penjudi dan pengadu ayam ditanyakan apakah kenal dengan pemuda yang bernama Bagus Burham. Orangnya tampan. Jejak Bagus Burham akhirnya terbau juga. Ki Kromoleyo dapat menemukan Bagus Burham dan mengajak kembali keTegalsari. Namun Bagus Burham tidak mau.
Karena bujukan Ki Josono utusan orang tuanya yang kebetulan juga sudah menemukan tempat Bagus Burham maka kembalilah Bagus Burham ke Tegalsari. Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burham tidak mereda. Kyai Imam Besari menghadapi Bagus Burham dengan cara lain. Sebab ternyata sekembalinya dari petualangannya Bagus Burham bukan semakin rajin mengaji tetapi semakin goblok dan bodoh. Tampaknya menghadapi murid yang demikian Kyai yang sudah berpengalaman itu lalu mengambil jalan lain. Bagus Burham tidak langsung diajar mengaji seperti santri-santri yang lain. Dia bukan keturunang orang biasa tetapi masih memiliki darah satriya. Maka tidak mengherankan kalau dia juga memiliki/mewarisi sifat-sifat leluhurnya. Gemar sekali kepada hal-hal yang memperlihatkan kejantanan seperti adu ayam dan lain sebagainya. Darah bangsawan yang biasanya sangat suka adu jago tetapi gemar melakukan tapa brata. Kesinilah Imam Kyai Besari mengarahkan. Disamping diberi pelajaran mengaji seperti murid yang lain maka Bagus Burham juga disuruh melakukan "tapa kungkum". Dari sini terbukalah hati Bagus Burham. Dikeheningan malam, dengen gemriciknya suara air, diatasnya bintang-bintang berkelap-kelip seolah-oleh menyadarkan Bagus Burham yang usianya juga sudah semakin dewasa itu. Dengan demikian muncul kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.  Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan dalam belajar. Setelah menjalani tapa kungkum selama 40 hari lamanya maka Bagus Burham tumbuh menjadi anak yang pandai. Kyai Imam Besari tersenyum lega melihat perkembangan anak asuhnya yang paling bengal itu. Terapinya kena sekali. Padahal terapi itu hanya berdasarkan dongeng yang pernah didengarnya.Bahwa dahulu kala ada seorang pemuda yang bengal, nakal, penjudi, pemalas,perampok yang bernama Ken Arok. Namun karena ketekunan seorang pendidik yang bernama Loh Gawe maka akhirnya Ken Arok enjadi raja di Singosari. Menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Dari Mojopahit sampai ke Surakarta semua menurut silsilah masih keturunan langsung dari Ken Arok. Dan R. Patah pun keturunan Ken Arok. Jadi Bagus Burham juga keturunan Ken Arok. Siapa tahu kenakalannya juga turunan yang dikelak kemudian hari akan menjadi orang yang luar biasa.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-kawannya. Bagus Burham menjadi murid yang terpandai. Selama 4 tahun dipondok Tegalsari ilmu gurunya sudah terkuran habis. Tidak ada sisanya lagi. Kyai Imam Besari memuji keluhuran Tuhannya. Dia melimpahkan habis ilmunya kepada muridnya. Setelah dirasa cukup maka Bagus Burham kembali ke Surakarta dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Sastranegara. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang amat berguna baginya.
Setelah dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Oleh tuanya Bagus Burham disuruh langsung ke Demak untuk belajar mengenal sastra Arab dan kebatinan jawa pada Pangeran Kadilangu. Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.
Apakah ayahnya punya maksud agar kelak anaknya dapat menandingi kepandaian rajanya ? Bagus Burham seorang kutu buku yang luar biasa. Dengan bekal kepandaian yang dimiliki dari beberapa guru-gurunya, Bagus Burham kemudian menekuni soal kesusastraan Jawa serta peninggalan-peninggalan nenek moyang. Buku-buku berbahasa kawi kuna ditelaah dan dipelajarai sebaik-baiknya. Jiwa petualang masih juga membara dalam kalbunya. Dia seringkali mengadakan perjalanan dari satu daerah kedaerah yang lain. Bagus Burham meninjau tempat-tempat yang bersejarah, tempat-tempat yang mengandung nilai-nilai historis, tempat-tempat yang keramat, ke candi-candi dan tempat-tempat penting lainnya. Disembarang tempat dipelbagai daerah kalau dianggap ada orang yang memiliki kepandaian lebih maka tidak malu-malu Bagus Burham berguru para orang tersebut. Tidak peduli dia hanyalah seorang juru kunci atau orang biasa.
Setelah tamat berguru, Pada usia 18 tahun sebagaimana kebiasaan anak priyayi waktu itu ingin mengabdikan dirinya kepada keraton. Caranya haruslah dengan magang (pegawai percobaan) pada Kadipaten Anom. Jiwa senimannya atau darah kepujanggaannya terasa mengalir deras ditubuhnya. Tidak merasa puas dengan pekerjaan magang tersebut. Maka Bagus Burham mohon pamit sebab dirasa tidak ada kemajuan. Dia ingin mengembara ingin bertualan menuruti gejolak darah senimannya. Hampir seluruh pelosok pulau Jawa telah dijelajahi oleh Bagus Burham. Bahkan juga luar jawa sepeti Bali, Lombok, Ujung Pandang, Banjarmasin bahkan ada sumber yang mengatakan pengembaraan Bagus Burham sampai di India dan Srilanka. Melihat perjalanan hidupnya seperti tersebut diatas pantaslah kalau Bagus Burham menjadi manusia yang kritis menghadapi suatu persoalan. (Ungkapan perasaannya tampak ada karyanya " Serat Kala Tida ")

Pulang dari pengembarannya Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom. Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Karena sang mertua diangkat menjadi Bupati di Kediri maka Bagus Burhampun mengikuti ke Kediri. Ditempat tersebut yang terkenal sebagai tempat bersejarah banyak peninggalan-peninggalan dari jaman terdahulu. Di Kediri pernah berdiri kerajaan besar dimana salah satu rajanya adalah Sang Prabu Joyoboyo. Waktu sang prabu berkuasa agaknya keadaan negara sangat tenteram dan damai terbukti lahirnya beberapa karya sastra besar. Sang Prabu memerintahkan kepada Empu Sedah dan Empu Panuluh agar menceritakan kembali atau menyusun ceritera BARATAYUDAHA dalam bahasa yang lebih muda diambil dari buku Maha Barata asli dari India. Demikian indahnya gubahan tersebut sehingga banyak yang mengira bahwa kejadian itu terjadi di tanah Jawa. Sebelum raja Joyoboyo, di Kediri juga lahir hasil sastra yang tinggi mutunya. Smara Dahana kitab karya Empu Darmaja, juga buku Sumana Sentaka karya Triguna merupakan hasil sastra yang sulit dicari bandingannya. Di daerah yang seperti itu tentu saja banyak peninggalan-peninggalan berupan rontal-rontal yang dimiliki penduduk warisan dari nenek moyang. Dengan tekun Bagus Burham di Kediri waktunya dihabiskan untuk mempelajari rontal-rontal yang dapat dikumpulkan dari perbagai daerah. Dari rontal-rontal, pengalaman/ pengetahuan selama mengembara dan berguru itulah dia dapat menimba pelbagai ilmu.
Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi  perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnyabertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya
yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya.
Dengan CF.Winter, Ranggawarsita membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra Jawi.
Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi Bramartani.

Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845 dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :


Pertama :
Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua :
Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.
Ketiga :
Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh
dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jayakawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai segala macam percobaan dan
dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali.
Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M.Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.

2 komentar: