Selasa, 11 Januari 2011

MERAPI


Suara gemuruh masih terdengar jelas di telinga pak broto, tapi dia masih menunggu instruksi dari pak camat untuk mengevakuasi warganya. Sudah seharian ia menghimbau kepada masyarakatnya untuk berkumpul dibalai desa untuk mempermudah bila sewaktu – waktu diadakan evakuasi mendadak. Cukup sulit baginya untuk memberi pengertian kepada 3.500an warganya untuk menuruti perintahnya.
“ bapak – bapak ibu – ibu saudara sekalian berhubung status merapi dalam keadaan awas dihimbau kepada seluruh warga untuk berkumpul dibalai desa untuk mempermudah bila sewaktu – waktu diadakan evakuasi. Bawalah barang atau harta benda yang sekiranya penting dan tidak merepotkan “ terdengar suara Pak broto dengan pengeras berkeliling menaiki mobil pic up
“pak ne ayo cepat kita berkemas – kemas, pak lurah sudah menghimbau itu “ yu suminah meminta suaminya untuk berkemas – kemas, tapi yang diajak ngomong tak berkutik malah membalas dengan ketus
“ halah, kenapa kitah arus ngungsi to buk, dari dulu desa kita aman – aman saja saat gunung merapi meletus. Lagian jarak rumah kita jauh dengan gunung merapi “ kang sukiman meneruskan makan singkong rebusnya
“ bukanya begitu pak, tapi letusan kali ini kata pak lurah lebih parah dari pada yang dulu. “ yu suminah masih memasukkan baju dan radio jadul warisan orang tuanya.
“ kok yo ngeyel to buk, jalannya lahar tidak melewati dusun kita. “
“ jangan begitu to pak, apa salahnya to kalau kita mengungsi barang cuma sehari. Besok kalau tidak ada apa – apa kita bisa balik lagi “
“Wes terserah kamu buk kalau ingin mengungsi, aku dirumah saja nunggu sapi “
“ ealah pak, kalau begitu anak – anak tak bawa saja, hati hati yo pak. Kalau ada apa - apa cepat lari “
“ iyo buk, tenang saja “
Itulah kata – kata terakhir yang dia dengar dari suami yang juga merangkap sebagai bapak dari anak – anaknya. Sebuah senyum dia terima dari laki – laki 45 tahun yang sudah 25 tahun hidup bersamanya, dalam hatinya ada perasaan tidak enak hingga akhirnya wito anak sulungnya yang berumur 15 tahun memanggilnya.
“ bapak gak ikut mak ? “
“ bapakmu nanti nyusul, panggil adikmu kita berangkat sekarang. biar dibalai desa nanti kita dapat tempat yang enak. “
“ iya mak “
Kemudian mereka bergegas meninggalkan rumah untuk menuju ke balai desa. Dusunnya berjarak 14 km dari puncak merapi. Mungkin itulah alasan sebagian warga menolak untuk mengungsi karena mereka mengira bahwa wedos gembel tidak akan sampai kepemukiman mereka. Walau kenyataannya sungguh sangat berbeda.
Dalam perjalanan, wanita paruh baya itu bertemu dengan pemuda 20 tahun bernama santoso, temannya bertani disawah.
“ san kamu gak ikut mengungsi to le cah bagus “
“ nggak yu sum, aku dirumah saja. Wedos gembelnya tidak akan mungkin sampai ke dusun kita “
“ lha katanya pak lurah kondisine merapi sudah awas tho san, gak ada salahnyakan kalau kita jaga – jaga “
“ tidak apa2 yu, sudah cepat berangkat sana daripada nanti dib alai desa sampean tidak apat tempat “
“ iyo le, ati – ati yo nek omah, lek enek opo2 ndang mlayu nyang balai deso “
Kemudian dia kembali bergegas menuju balai desa, sesampainya disana ternyata sudah banyak warga yang berkumpul.
“ saudara – saudara sekalian berhubung status merapi sudah awas dan mengkhawatirkan, saya baru mendapatkan perintah dari pak camat untuk evakuai seluruh warga ketempat yang lebih aman di sleman, nanti saudara – saudara akan diangkut truk bergantian. Marilah sebelum truk datang kita berdo’a semoga kita semua selamat dan tidak terjadi apa - apa “
“ amiiiiiiiiiinnnnnn….” Jawab serentak seluruh warga masyarkat.
“ wit, mumpung truknya belum datang panggil bapakmu kesini sekarang, pinjamo motore mas basuki “
Yang diperintahpun akhirnya menurut. Tak lama kemudian dia sudah melihat anak laki – lakinya meluncur dengan motor.
Tak lama kemudian beberapa truk datang, dan warga mulai diangkut bersama secara bergiliran. Saat angkutan terakhir pak lurah melihat Yu Suminah masih dibawah dan kebingungan.
“ yu sum cepat naik keatas, sampean menunggu apa ? “ kata pak lurah
“ sebentar pak lurah saya masih nunggu wito sama bapaknya “
“ loh tadi kang sukiman sama wito gak ikut kumpul ke balai desa to ? “
“ tadi wito sudah datang kemari, tapi bapaknya tidak mau ikut. Setelah pak lurah tadi bilang kalau akan diungsikan saya suruh wito menjemput bapaknya naik motor mas basuki “
“ ya sudah kalau begitu yu sum sekarang naik truk saja, nanti biar wito sama bapaknya naik motor. Basuki biar boncengan sama saya “
“ Inggeh pak lurah “ akhirnya yu sum menuruti kata – kata pak lurah untuk naik truk sekarang.
Tak lama setelah truk terakhir yang ditumpanginya berjalan tiba – tiba terdengar suara gemuruh yang menakutkan. Dari jauh dia melihat awan hitam muncul dari kawah merapi. Fkirannya tertuju pada anak dan suaminya. Duh gusti mereka kok belum muncul – muncul ya ? dalam hati wanita 40 tahun itu tak henti – hentinya berdo’a, semoga mereka cepat menyusul dan tidak terjadi apa – apa. Saat itu masih pukul 16.30 tp langit sudah gelap karena tertutup awan hitam pekat dari semburan merapi.
Tiba – tiba terdengar suara ledakan keras yang membuat semua orang dalam truk berteriak. Tak henti – hentinya mereka melafadzkan kalimat takbir.
“ Allohhu akbar alloh akbar “
Terdengar isak tangis wanita dan anak – anak yang ketakutan. Trukpun melaju lebih cepat agar segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian suara ledakan sudah sirna tapi suara gemuruh tetap terdengar sayup – sayup seiring semakin menjauhnya truk dari lokasi itu.

Argomulyo 16.35 wib
Dengan cepat wito menancap gas motornya agar segera bertemu dengan bapaknya. 15 menit kemudian dia telah sampai. Sesampainya dirumah dia segera masuk dan berteriak – teriak memanggil bapaknya
“ Pak, sama ibu disuruh kebalai desa sekarang, kata pak lurah kita akan diungsikan ke kecamatan “
Berkali – kali dia memanggil bapaknya tapi Orang Yang dipanggil – panggilnya tetap tidak menyahut, kemudian dia kebelakang dan kembali keluar rumah. Dilihatnya dusunnya sudah senyap dan sepi, hanya ada beberapa tetangganya yang tetap memilih bertahan. Kemudian dia menghapiri salah satunya dan bertanya
“ mas santoso, sampean lihat bapak apa tidak ? “
“ tadi aku lihat bapakmu ikut kang tresno. Katanya mereka ke rumah mbah marijan wit “
“ sampean gak ikut ngungsi to ? “
“ ogak wit, lahare gak bakalan lewat sini “ “
“ ya sudah kang saya tak menjemput bapak kesana sekarang “
Kemudian dia kembali menancap gas motornya. Tak lama kemudian sebelum sampai ketempat yang dituju tiba – tiba terdengar suara dentuman sangat keras yang mengagetkannya sehingga dia terjatuh dari motornya. Santoso yang melihat kejadian itu kemudian berlari menolongnya.
“ kamu gak apa – apa wit ? “
“ Tanganku sepertinya terkilir kang “ erang wito sambil memegangi tangan kirinya yang lecet dan berdarah. Sambil membantu wito berdiri, santoso berkata
“ ya sudahlah kamu sekarang kerumahku saja, gak usah menyusul bapakmu. Nanti aku tak telpon pak lurah supaya menjemput kita “
“ tapi kang…. “
“ sudah tidak usah membantah, bapakmu akan aman bersama mbah marijan “ kemudian dia berjalan meninggalkan motor yang tergeletak begitu saja sambil memapah wito berjalan menuju rumahnya.
Sesampainya didalam rumah santoso dia melihat 15 orang tetangganya sudah berkumpul di ruang tamu. Mereka berencana untuk mengungsi bersama – sama setelah mendengar suara ledakan. Tapi rencana itu urung karena Setelah terdengar suara ledakan keadaan menjadi tenang kembali. Perkiraan mereka meleset karena tiba – tiba terdengar teriakan istigfar dari orang – orang diluar rumah. Bersamaan dengan itu tiba – tiba angin kencang asap hitam pekat membawa debu – debu panas seperti percikan api las mendobrak pintu rumah dan meluluh lantakkan apa yang dilewatinya. Tiba – tiba seisi rumah penuh asap panas dan mereka semua berlari kalang kabut tak tentu arah menyelamatkan diri. Santoso menarik wito untuk berlari ke kamar mandi. Kemudian mereka membasahi handuk yang mereka temukan dan menutupkannya ketubuh mereka. Karena masih merasa panas, dengan sedikit tenaga yang tersisa santoso berlari ke kamar tidurnya mengambil kasur spon busa yang sehari – hari digunakan sebagai alas tidurnya dan kembali membawa ke kamar mandi untuk dibasahi. Dengan dibantu Wito dengan cepat dia kemudian mencelupkan busa itu ke dalam bak air dan menggunakannya kembali untuk menutupi tubuh mereka berdua.
Beberapa menit kemudian saat dirasa keadaan sudah aman mereka berdua berjalan keluar dengan menggunakan handuk basah tadi sebagai masker. Betapa terkejutnya mereka melihat mayat – mayat dengan debu panas bergelimpangan di dalam rumah. mereka menghampiri satu persatu mayat dan menguncang – guncangnya berharap masih ada nafas kehidupan. Kulit, Kaki, tangan dan wajahnya melepuh karena terkena sisa – sisa debu yang masih beterbangan.
Mereka keluar rumah dan dalam keadaan samar – samar mereka kembali melihat mayat – mayat bergelimpangan. Mereka berterika – teriak minta tolong berharap masih ada warga lainnya yang masih selamat. Tapi sunyi tak ada suara yang menyahut. Hanya suara gemuruh merapi yang terdengar. Wito merangkul santoso dan menangis sesenggukan.
“ mas, bagaimana keadaan bapak mas ? “
“ yang sabar dan tabah ya wit, Kita sayang sama bapakmu dan yang lainnya, tapi tuhan lebih sayang kepada mereka “
Kemudian santoso mengeluarkan telepon seluler dari saku celana levisnya dan menghubungi pak lurah. Satu jam kemudian pertolongan datang dan membawa mereka ke rumah sakit.
Status Gunung Merapi ditingkatkan dari Normal manjadi Waspada pada tanggal 20 September 2010. Pada 21 Oktober 2010 status Merapi menjadi Siaga, dan kemudian Awas, terhitung sejak 25 Oktober 2010. Gunung Merapi akhirnya meletus pada hari Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.02 Waktu Indonesia Barat. Hingga saat ini sudah ratusan orang menjadi korban, termasuk juru kunci Gunung merapi Mbah Marijan.