Senin, 25 Juni 2012

KAMAR TENGAH

Malam terasa begitu dingin, entah karena kebetulan saat ini bertepatan  musim hujan atau karena ada hawa lain. Yang pasti sekarang aku dan pamanku sedang menunggui kakek dirumah sakit. Beliau sudah  dirawat sejak 2 minggu yang lalu. Kakek yang selalu terlihat berwibawa dan disegani orang sekampung terlihat begitu lemah dengan tatapan mata kosong. Banyak yang bilang sejak muda kakekku sudah melakukan tapa laku. Sampai beberapa waktu lalu sebelum beliau jatuh sakit beliau masih melakukannya. Beliau pernah memberitahuku kalau beliau sedang melakukan puasa mutih, yaitu berpuasa hanya dengan makan nasi putih saja selama sehari semalam. Biasanya puasa ini dilakukan saat bertepatan dengan weton atau hari lahir yang bertujuan menolak bala dan menyucikan diri.
Aku masih ingat saat masih kecil, ada sebuah kamar tengah yang selalu terkunci rapat dan tidak ada yang boleh memasukinya kecuali kakekku. Tiap malam jum’at selalu tercium bau wangi kemenyan dan minyak serimpi. Bagi sebagian orang bau kemenyan bias membuat kepala pusing, tapi tidak bagiku. Aku begitu menyukai bau kemenyan dan minyak serimpi. Minyak serimpi adalah minyak yang biasanya dipakai untuk kain kafan mayat. Biasanya setelah memakainya, kakekku selalu membuangnya dibelakang rumah dan aku akan segera memungutnya. Botol kaca kecil bergambar penari itu sering isi dengan air sumur kemudian aku ciprat – cipratkan kepakaianku. Ibu selalu marah bila aku melakukan hal itu.  Katanya bau minyak serimpi bisa mengundang mahluk halus.
Pernah suatu malam saat rumah sedang sepi orang,  hanya tinggal aku sendirian dirumah. Kakek sedang ada undangan kenduri dan bapak ibuku menghadiri acara nikahan saudara dikampung sebelah. Karena saat itu aku sudah berumur 10 tahun dan tidak pantas lagi untuk ikut, maka aku ditinggal sendirian dan disuruh menjaga rumah. Umur segitu dikampungku sudah dianggap besar.   Keadaan seperti itu kugunakan untuk mengintip kamar tengah yang selalu terkunci rapat. Konon ruangan itu dulu adalah kamar tidur kakek dan nenekku. Tapi setelah nenekku meninggal 15 tahun yang lalu saat ayahku masih berusia 20 tahun, kakek memilih pindah kekamar tidur depan. Otomatis sejak saat itu kamar menjadi kosong. Tapi Mbok Nem seorang pengasuhku sewaktu kecil pernah bercerita, sejak nenek meninggal kamar itu selalu tertutup dan terkunci rapat. Dan hanya dibuka setiap malam jum’at untuk diberi pancen. Pancen adalah semacam sesajen yang terdiri dari sepiring nasi, lauk pauk,kopi pahit, buah – buahan dll. Pancen dibuat untuk menyambut arwah keluarga orang yang sudah meninggal. Karena kepercayaan adat  jawa, orang yang sudah meninggal setiap malam jum’at arwahnya akan pulang untuk menjenguk sanak familinya dan tinggal selama satu malam. Kadang mereka membawa oleh – oleh kentang rebus. Maka tak heran ketika kita sendirian dirumah tiba – tiba mencium bau seperti kentang rebus atau wangi bunga melati. Konon mitosnya saat itu sedang ada arwah lelembut yang sedang lewat atau tinggal ditempat itu.

Dari balik lubang kunci Aku mengintip isi kamar  itu. Walau tidak begitu jelas tapi aku tau di atas meja ada piring berisi bunga setaman yang ditengahnya diletakkan 2 butir telur ayam kampong. Disamping kanan ada gelas berisi air dan bunga kantil yang masih kuncup belum mekar. Sedang disamping kirinya sebungkus rokok dan korek api. Mataku mencari – cari sumber bau kemenyan dan minyak serimpi yang sejak tadi  menusuk hidungku. Mataku tertuju pada asap yang keluar dari bawah meja yang tertutup taplak meja. Biasanya kakek membakar Kemenyan dan minyak itu diatas sebuah genteng yang diletakkan dibawah meja tadi.
Saat aku berusaha mengintip dan mecari – cari pemandangan yang lain tiba – tiba tanpa sengaja pintu terbuka karena terdorong oleh tanganku. Ternyata kakek lupa mengunci pintu. Karena kaget aku segera menutup kembali pintu itu. Tiba – tiba rasa penasaran untuk mengetahui lebih dalam isi kamar itu muncul. Tapi niat itu aku urungkan karena aku ingat pesan kakek untuk tidak sekali – kali mengintip atau malah memasuki kamar itu. Antara rasa takut dan penasaran akhirnya aku beranikan untuk masuk. Toh dirumah sedang tidak ada orang dan mereka masih lama kembali. Dengan hati berdegup kencang dan jalan berjingkat  pelan mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Dibagian kanan kamar itu ada sebuah tempat tidur yang diatasnya ada sebuah tikar daun pandan yang masih tergulung dan sebuah sapu lidi dalam posisi berdiri. Ditembok tertempel 2 buah wayang kulit yang diantara keduanya ada sebuah cemeti yang terbuat dari kulit pohon waru. Disudut lain aku melihat ada sebuah peti kayu berukir perpaduan warna merah dan emas. Saat aku buka ternyata didalamnya ada sebuah keris. Saat aku mencoba mengangkat dan mengeluarkannya dari dalam peti itu tiba – tiba aku dikejutkan oleh suara seorang wanita.
“ Den bagus kenapa masuk senthong tengah ? nanti ketahuan kakek dimarahin lo “
“ Eh Si Mbok mengejutkan saja, saya Cuma mau menutup pintu mbok. Tadi pintunya terbuka. Kakek lupa menguncinya. “ aku mencoba berdalih.
“ ooo… simbok kira sedang apa. Itu den bagus sedang megang apa ? ayo dikembalikan ketempatnya. Gak ilok memegang barang yang bukan miliknya. Dosa den. “
“ i.. iya mbok “ kemudian aku mengembalikan peti itu ketempatnya.
“ Rumahnya kok sepi den, kakek sama ndoro kemana ? “ Mbok nem kemudian duduk dipinggir dipan.
“  anu mbok, kakek sedang kenduri dirumahnya kang tresno. Sedangkan bapak sama ibu ke mantenannya mbak likah. “
“ Jadi den bagus sendirian dirumah ? dari pada den bagus sendirian dirumah bagaimana kalau ikut si mbok ke Dusun Gande kerumah kakeknya si mbok. “
“ inggeh mbok, bagus ikut si mbok saja “ tiba – tiba perasaanku tidak dan bulu kudukku berdiri.
“ den bagus ambil saja beberapa buah pisang atas diatas meja  untuk bekal dijalan nanti. “
“ nanti apa tidak dimarahin kakek mbok, buah inikan untuk pancen ? “
“ tidak apa – apa den, nanti biar si mbok yang bilang “
Kemudian aku mengambil 2 buah pisang dan masing – masing kumasukkan kedalam saku samping celana pendekku. Sambil menggandengku Mbok Nem menutup dan mengunci kamar tengah kakekku. Kemudian perasaan aneh menyelimuti diriku lagi.
“ den bagus tidak usah khawatir, si mbok akan menjaga den bagus sampai den bagus besar dan mandiri “ si mbok berkata sambil tersenyum seolah – olah bias membaca fikiranku. Kemudian aku membalas senyum. Kamipun berjalan meningalkan kampung. Dalam perjalanan si mbok menawari aku untuk digendong.
“ den bagus mau si mbok gendong ? kelihatannya den bagus sudah lelah. “
“ Ndak mbok, kita istirahat saja sebentar. Nanti kita lanjutin lagi “
“ sudah sini si mbok gendong saja, si mbok masih kuat kok gendong den bagus. Nanti kalau kita istirahat, kapan sampainya ? malam keburu gelap dan sepi den. “ masih kulihat senyuman hangatnya.Tanpa menunggu jawabanku mbok nem langsung menggendingku dibelakang. Seketika perasaan damai menyelimutiku, rasanya aku kembali berusia balita.
Sejak masih bayi aku sudah dirawat dan diasuh oleh mbok nem. Maklum ibuku adalah seorang perawat Rumah Sakit yang selalu pulang sore. Sedangkan bapakku hanya seorang operator mesin disebuah pabrik besi di Surabaya yang hanya pulang seminggu sekali. Otomatis semua pekerjaan rumah tangga sampai mengasuhku mbok nemlah yang mengerjakan. Kadang aku berfikir, sebenarnya mbok nemlah orang tua asliku. Sedangkan bapak dan ibuku hanyalah orang tua simblis atau formalitas saja. Kakek jarang mengajakku bermain dan tatapannya selalu sinis. Kata mbok nem wetonku dan weton kakek sama. Jum’at Kliwon. Kalau dua orang wetonnya sama katanya mereka suka bertengkar dan salah satunya pasti akan jatuh sakit. Mungkin itulah alasan kenapa selama ini kakek lebih banyak diam kepadaku.
Dalam perjalanan dengan Mbok Nem aku merasakan banyak sekali keanehan. Mulai dengan berpapasan dengan orang yang berwajah dingin, orang -  orang yang berjalan lalu lalang tanpa saling sapa. Bahkan dengan pocong dan genderuwo. Lebih aneh lagi, dalam gendongan mbok nem aku tidak merasakan ketakutan sedikitpun. Bahkan aku sempat bertanya tentang asal usul beberapa hantu kepada mbok nem.
Yang pertama adalah sundel bolong, konon saat masih hidup sundel bolong adalah seorang penari yang sangat cantik dan menjadi rebutan para pria. Hingga suatu ketika ada seorang pria yang mencintainya dan ingin menikahinya. Tapi keinginan itu ditolaknya mentah – mentah. Karena sakit hati akhirnya pria itu membunuh dan membuangnya di jurang. Suatu hari ada seorang pencari pakan ternak sedang merumput menemukan mayatnya tertancap bagian punggungnya pada sebuah ranting pohon. Sejak saat itulah terdengar desas desus tentang sundel bolong. Jika berhadapan dia terlihat sangat cantik dan wangi, tapi bila dia membalikkan tubuhnya, maka akan terlihat lubang yang penuh dengan darah dan belatung. Seketika itu bau wangi berubah menjadi amis dan busuk. Sundel bolong suka menyamar menjadi wanita cantik dan berada dikeramaian dan mencari pria pembunuhnya.
Hantu selanjutnya adalah Genderuwo. Sosoknya tinggi besar dengan rambut dan bulu – bulu yang lebat. Dia suka tinggal dan berdiam diri dirumah kosong atau pohon – pohon besar. Aku masih ingat cerita teman sekolahku beberapa hari yang lalu. Saat pulang mengaji kira – kira ba’da isya dia melihat sosok hitam kecil menyerupai kucing yang berjalan berlawanan arah dengannya. Tapi keanehan semakin terasa saat sosok itu semakin lama semakin mendekat menjadi seakin besar. Saat berpapasan dengannya sosok itu berasnya sudah melampaui tubuhnya, seperti kingkong tapi rambut gondrong dan dan sangat bau. Seketika diapun lari terbirit – birit.
Jeragkong / thethekan. Hantu ini mempunyai fisik kerangka manusia. Saat berjalan mengeluarkan suara khas yaitu suara tulang yang saling beradu. Konon saat hantu ini muncul anak balita yang mendengarnya akan langung menangis semalaman atau orang jawa sering menyebutnya sawanen.
Hantu yang paling sering kita dengar adalah pocong atau pocongan. Mayat berkafan ini sering tinggal dikuburan atau tempat – tempat sepi. Pocong adalah hantu mayat orang yang semasa hidupnya bergelimang dosa sehingga bumi menolaknya. Hantu ini sering terlihat menagis karena penderitaannya.
Sambil berbincang – bincang tiba – tiba kami sudah sampai di depan rumah kakek Mbok Nem.
 “ den kita sudah sampai “
Akupun turun dari gendongannya. Rumah itu terlihat sangat besar dengan model rumah jawa kuno seperti rumahku. Di ruang depan terlihat seorang laki – laki tua berjanggut dan berpakaian serba putih seperti sedang membaca kitab. Sayup – sayup aku mendengar suara orang mengaji.
“ Assalamu’alaikum…. “
“ wa’alaikum salam… “ laki – laki tua itu menjawab kemudian berjalan menghampiri kami berdua.
  “ Ini Jinem mbah, cucu si mbah “
“ putuku cah ayu, tumben mau berkunjung kerumah kakek, ayu masuk – masuk “
Setelah mencium tangan laki – laki tua itu Mbok nem menggandeng tanganku dan masuk ke rumah tua itu.
“ yang kamu bawa itu siapa Cah Ayu ? “
“ ini anak asuhan saya kek, kasihan dirumah sendirian. Makanya saya ajak jalan – jalan dan berkunjung kesini “
“ apa nanti keluarganya tidak mencarinya ndok ? “
“ tadi saya sudah meninggalkan pesan dikamar kakeknya mbah “
“ Ya sudah, karena sudah disini biar dia bermain sama si dimas keponakanmu. Kebetulan mereka seusia. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu ndok cah ayu.”
Kemudian laki – laki tua itu memanggil anak kecil seusiaku,kamipun berkenalan dan bermain didalam rumah. Sebelum aku masuk rumah Mbok nem menghampiriku dan berbisik “ nanti kalau ada yang ngasih den bagus makan atau minuman jangan mau, bilang saja den bagus masih kenyang. Kalau den bagus lapar makan saja buah pisang yang tadi den bagus bawa. Mengertikan den ? “ aku mengangguk dan segera berlari kembali menghampiri dimas untuk bermain bersama.
Sementara itu di kampungku, semua orang kebingungan karena telah terjadi sesuatu….

To be continue….

5 komentar:

  1. temanya bagus. serba lokal. tapi teknisnya g kamu perhatikan. cuma di sisi penulisan aja si. tapi bagus.

    BalasHapus
  2. @didi : iya nih lg buat lanjutnnya
    @bang wana : makasih masukannya :D

    BalasHapus
  3. untung aku gak punya kamar tengah! hehe

    BalasHapus
  4. itu bocahnya dibawa kedunia lain?
    ditunggu lanjutannya..

    BalasHapus