Senin, 25 Juni 2012

KAMAR TENGAH

Malam terasa begitu dingin, entah karena kebetulan saat ini bertepatan  musim hujan atau karena ada hawa lain. Yang pasti sekarang aku dan pamanku sedang menunggui kakek dirumah sakit. Beliau sudah  dirawat sejak 2 minggu yang lalu. Kakek yang selalu terlihat berwibawa dan disegani orang sekampung terlihat begitu lemah dengan tatapan mata kosong. Banyak yang bilang sejak muda kakekku sudah melakukan tapa laku. Sampai beberapa waktu lalu sebelum beliau jatuh sakit beliau masih melakukannya. Beliau pernah memberitahuku kalau beliau sedang melakukan puasa mutih, yaitu berpuasa hanya dengan makan nasi putih saja selama sehari semalam. Biasanya puasa ini dilakukan saat bertepatan dengan weton atau hari lahir yang bertujuan menolak bala dan menyucikan diri.
Aku masih ingat saat masih kecil, ada sebuah kamar tengah yang selalu terkunci rapat dan tidak ada yang boleh memasukinya kecuali kakekku. Tiap malam jum’at selalu tercium bau wangi kemenyan dan minyak serimpi. Bagi sebagian orang bau kemenyan bias membuat kepala pusing, tapi tidak bagiku. Aku begitu menyukai bau kemenyan dan minyak serimpi. Minyak serimpi adalah minyak yang biasanya dipakai untuk kain kafan mayat. Biasanya setelah memakainya, kakekku selalu membuangnya dibelakang rumah dan aku akan segera memungutnya. Botol kaca kecil bergambar penari itu sering isi dengan air sumur kemudian aku ciprat – cipratkan kepakaianku. Ibu selalu marah bila aku melakukan hal itu.  Katanya bau minyak serimpi bisa mengundang mahluk halus.
Pernah suatu malam saat rumah sedang sepi orang,  hanya tinggal aku sendirian dirumah. Kakek sedang ada undangan kenduri dan bapak ibuku menghadiri acara nikahan saudara dikampung sebelah. Karena saat itu aku sudah berumur 10 tahun dan tidak pantas lagi untuk ikut, maka aku ditinggal sendirian dan disuruh menjaga rumah. Umur segitu dikampungku sudah dianggap besar.   Keadaan seperti itu kugunakan untuk mengintip kamar tengah yang selalu terkunci rapat. Konon ruangan itu dulu adalah kamar tidur kakek dan nenekku. Tapi setelah nenekku meninggal 15 tahun yang lalu saat ayahku masih berusia 20 tahun, kakek memilih pindah kekamar tidur depan. Otomatis sejak saat itu kamar menjadi kosong. Tapi Mbok Nem seorang pengasuhku sewaktu kecil pernah bercerita, sejak nenek meninggal kamar itu selalu tertutup dan terkunci rapat. Dan hanya dibuka setiap malam jum’at untuk diberi pancen. Pancen adalah semacam sesajen yang terdiri dari sepiring nasi, lauk pauk,kopi pahit, buah – buahan dll. Pancen dibuat untuk menyambut arwah keluarga orang yang sudah meninggal. Karena kepercayaan adat  jawa, orang yang sudah meninggal setiap malam jum’at arwahnya akan pulang untuk menjenguk sanak familinya dan tinggal selama satu malam. Kadang mereka membawa oleh – oleh kentang rebus. Maka tak heran ketika kita sendirian dirumah tiba – tiba mencium bau seperti kentang rebus atau wangi bunga melati. Konon mitosnya saat itu sedang ada arwah lelembut yang sedang lewat atau tinggal ditempat itu.

Dari balik lubang kunci Aku mengintip isi kamar  itu. Walau tidak begitu jelas tapi aku tau di atas meja ada piring berisi bunga setaman yang ditengahnya diletakkan 2 butir telur ayam kampong. Disamping kanan ada gelas berisi air dan bunga kantil yang masih kuncup belum mekar. Sedang disamping kirinya sebungkus rokok dan korek api. Mataku mencari – cari sumber bau kemenyan dan minyak serimpi yang sejak tadi  menusuk hidungku. Mataku tertuju pada asap yang keluar dari bawah meja yang tertutup taplak meja. Biasanya kakek membakar Kemenyan dan minyak itu diatas sebuah genteng yang diletakkan dibawah meja tadi.
Saat aku berusaha mengintip dan mecari – cari pemandangan yang lain tiba – tiba tanpa sengaja pintu terbuka karena terdorong oleh tanganku. Ternyata kakek lupa mengunci pintu. Karena kaget aku segera menutup kembali pintu itu. Tiba – tiba rasa penasaran untuk mengetahui lebih dalam isi kamar itu muncul. Tapi niat itu aku urungkan karena aku ingat pesan kakek untuk tidak sekali – kali mengintip atau malah memasuki kamar itu. Antara rasa takut dan penasaran akhirnya aku beranikan untuk masuk. Toh dirumah sedang tidak ada orang dan mereka masih lama kembali. Dengan hati berdegup kencang dan jalan berjingkat  pelan mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Dibagian kanan kamar itu ada sebuah tempat tidur yang diatasnya ada sebuah tikar daun pandan yang masih tergulung dan sebuah sapu lidi dalam posisi berdiri. Ditembok tertempel 2 buah wayang kulit yang diantara keduanya ada sebuah cemeti yang terbuat dari kulit pohon waru. Disudut lain aku melihat ada sebuah peti kayu berukir perpaduan warna merah dan emas. Saat aku buka ternyata didalamnya ada sebuah keris. Saat aku mencoba mengangkat dan mengeluarkannya dari dalam peti itu tiba – tiba aku dikejutkan oleh suara seorang wanita.
“ Den bagus kenapa masuk senthong tengah ? nanti ketahuan kakek dimarahin lo “
“ Eh Si Mbok mengejutkan saja, saya Cuma mau menutup pintu mbok. Tadi pintunya terbuka. Kakek lupa menguncinya. “ aku mencoba berdalih.
“ ooo… simbok kira sedang apa. Itu den bagus sedang megang apa ? ayo dikembalikan ketempatnya. Gak ilok memegang barang yang bukan miliknya. Dosa den. “
“ i.. iya mbok “ kemudian aku mengembalikan peti itu ketempatnya.
“ Rumahnya kok sepi den, kakek sama ndoro kemana ? “ Mbok nem kemudian duduk dipinggir dipan.
“  anu mbok, kakek sedang kenduri dirumahnya kang tresno. Sedangkan bapak sama ibu ke mantenannya mbak likah. “
“ Jadi den bagus sendirian dirumah ? dari pada den bagus sendirian dirumah bagaimana kalau ikut si mbok ke Dusun Gande kerumah kakeknya si mbok. “
“ inggeh mbok, bagus ikut si mbok saja “ tiba – tiba perasaanku tidak dan bulu kudukku berdiri.
“ den bagus ambil saja beberapa buah pisang atas diatas meja  untuk bekal dijalan nanti. “
“ nanti apa tidak dimarahin kakek mbok, buah inikan untuk pancen ? “
“ tidak apa – apa den, nanti biar si mbok yang bilang “
Kemudian aku mengambil 2 buah pisang dan masing – masing kumasukkan kedalam saku samping celana pendekku. Sambil menggandengku Mbok Nem menutup dan mengunci kamar tengah kakekku. Kemudian perasaan aneh menyelimuti diriku lagi.
“ den bagus tidak usah khawatir, si mbok akan menjaga den bagus sampai den bagus besar dan mandiri “ si mbok berkata sambil tersenyum seolah – olah bias membaca fikiranku. Kemudian aku membalas senyum. Kamipun berjalan meningalkan kampung. Dalam perjalanan si mbok menawari aku untuk digendong.
“ den bagus mau si mbok gendong ? kelihatannya den bagus sudah lelah. “
“ Ndak mbok, kita istirahat saja sebentar. Nanti kita lanjutin lagi “
“ sudah sini si mbok gendong saja, si mbok masih kuat kok gendong den bagus. Nanti kalau kita istirahat, kapan sampainya ? malam keburu gelap dan sepi den. “ masih kulihat senyuman hangatnya.Tanpa menunggu jawabanku mbok nem langsung menggendingku dibelakang. Seketika perasaan damai menyelimutiku, rasanya aku kembali berusia balita.
Sejak masih bayi aku sudah dirawat dan diasuh oleh mbok nem. Maklum ibuku adalah seorang perawat Rumah Sakit yang selalu pulang sore. Sedangkan bapakku hanya seorang operator mesin disebuah pabrik besi di Surabaya yang hanya pulang seminggu sekali. Otomatis semua pekerjaan rumah tangga sampai mengasuhku mbok nemlah yang mengerjakan. Kadang aku berfikir, sebenarnya mbok nemlah orang tua asliku. Sedangkan bapak dan ibuku hanyalah orang tua simblis atau formalitas saja. Kakek jarang mengajakku bermain dan tatapannya selalu sinis. Kata mbok nem wetonku dan weton kakek sama. Jum’at Kliwon. Kalau dua orang wetonnya sama katanya mereka suka bertengkar dan salah satunya pasti akan jatuh sakit. Mungkin itulah alasan kenapa selama ini kakek lebih banyak diam kepadaku.
Dalam perjalanan dengan Mbok Nem aku merasakan banyak sekali keanehan. Mulai dengan berpapasan dengan orang yang berwajah dingin, orang -  orang yang berjalan lalu lalang tanpa saling sapa. Bahkan dengan pocong dan genderuwo. Lebih aneh lagi, dalam gendongan mbok nem aku tidak merasakan ketakutan sedikitpun. Bahkan aku sempat bertanya tentang asal usul beberapa hantu kepada mbok nem.
Yang pertama adalah sundel bolong, konon saat masih hidup sundel bolong adalah seorang penari yang sangat cantik dan menjadi rebutan para pria. Hingga suatu ketika ada seorang pria yang mencintainya dan ingin menikahinya. Tapi keinginan itu ditolaknya mentah – mentah. Karena sakit hati akhirnya pria itu membunuh dan membuangnya di jurang. Suatu hari ada seorang pencari pakan ternak sedang merumput menemukan mayatnya tertancap bagian punggungnya pada sebuah ranting pohon. Sejak saat itulah terdengar desas desus tentang sundel bolong. Jika berhadapan dia terlihat sangat cantik dan wangi, tapi bila dia membalikkan tubuhnya, maka akan terlihat lubang yang penuh dengan darah dan belatung. Seketika itu bau wangi berubah menjadi amis dan busuk. Sundel bolong suka menyamar menjadi wanita cantik dan berada dikeramaian dan mencari pria pembunuhnya.
Hantu selanjutnya adalah Genderuwo. Sosoknya tinggi besar dengan rambut dan bulu – bulu yang lebat. Dia suka tinggal dan berdiam diri dirumah kosong atau pohon – pohon besar. Aku masih ingat cerita teman sekolahku beberapa hari yang lalu. Saat pulang mengaji kira – kira ba’da isya dia melihat sosok hitam kecil menyerupai kucing yang berjalan berlawanan arah dengannya. Tapi keanehan semakin terasa saat sosok itu semakin lama semakin mendekat menjadi seakin besar. Saat berpapasan dengannya sosok itu berasnya sudah melampaui tubuhnya, seperti kingkong tapi rambut gondrong dan dan sangat bau. Seketika diapun lari terbirit – birit.
Jeragkong / thethekan. Hantu ini mempunyai fisik kerangka manusia. Saat berjalan mengeluarkan suara khas yaitu suara tulang yang saling beradu. Konon saat hantu ini muncul anak balita yang mendengarnya akan langung menangis semalaman atau orang jawa sering menyebutnya sawanen.
Hantu yang paling sering kita dengar adalah pocong atau pocongan. Mayat berkafan ini sering tinggal dikuburan atau tempat – tempat sepi. Pocong adalah hantu mayat orang yang semasa hidupnya bergelimang dosa sehingga bumi menolaknya. Hantu ini sering terlihat menagis karena penderitaannya.
Sambil berbincang – bincang tiba – tiba kami sudah sampai di depan rumah kakek Mbok Nem.
 “ den kita sudah sampai “
Akupun turun dari gendongannya. Rumah itu terlihat sangat besar dengan model rumah jawa kuno seperti rumahku. Di ruang depan terlihat seorang laki – laki tua berjanggut dan berpakaian serba putih seperti sedang membaca kitab. Sayup – sayup aku mendengar suara orang mengaji.
“ Assalamu’alaikum…. “
“ wa’alaikum salam… “ laki – laki tua itu menjawab kemudian berjalan menghampiri kami berdua.
  “ Ini Jinem mbah, cucu si mbah “
“ putuku cah ayu, tumben mau berkunjung kerumah kakek, ayu masuk – masuk “
Setelah mencium tangan laki – laki tua itu Mbok nem menggandeng tanganku dan masuk ke rumah tua itu.
“ yang kamu bawa itu siapa Cah Ayu ? “
“ ini anak asuhan saya kek, kasihan dirumah sendirian. Makanya saya ajak jalan – jalan dan berkunjung kesini “
“ apa nanti keluarganya tidak mencarinya ndok ? “
“ tadi saya sudah meninggalkan pesan dikamar kakeknya mbah “
“ Ya sudah, karena sudah disini biar dia bermain sama si dimas keponakanmu. Kebetulan mereka seusia. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu ndok cah ayu.”
Kemudian laki – laki tua itu memanggil anak kecil seusiaku,kamipun berkenalan dan bermain didalam rumah. Sebelum aku masuk rumah Mbok nem menghampiriku dan berbisik “ nanti kalau ada yang ngasih den bagus makan atau minuman jangan mau, bilang saja den bagus masih kenyang. Kalau den bagus lapar makan saja buah pisang yang tadi den bagus bawa. Mengertikan den ? “ aku mengangguk dan segera berlari kembali menghampiri dimas untuk bermain bersama.
Sementara itu di kampungku, semua orang kebingungan karena telah terjadi sesuatu….

To be continue….

Minggu, 03 Juni 2012

SERAT KALATIDA ( Jaman yang penuh keragu raguan )


Sinom

Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,
Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka
masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.
Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan,
mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.
Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu.
Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar,
bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ?
Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja.
Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah
kerepotan.
Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan.
Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai. Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin
akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya
kisah jaman dahulu kala.
Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala,
guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul.
Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya "nrima"
dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.
Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang
lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa
ingat dan waspada.
Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ?
Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua,
apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.
Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan.
Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.

Apapun dilaksanakan
Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan
persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.
Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih,
mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.
Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.

SERAT SABDO JATI



MEGATRUH
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.
Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis,
senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, seolah-olah mabuk kepayang.
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan.
Segala yang baik-baik lari dari dirinya
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek
Sudah melupakan Tuhannya.
Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping
Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.


Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).

Megatruh

Megatruh
Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi :
"Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
didalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya
segera dan dapat terjadi "
Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.
Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).
Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.
Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.
Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil)
yang berada banyak dijalan.
Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut isinya tidak lain emas dan kencana.

Sinom

Sinom
Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan,
segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.
Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih baik tercemar nama daripada mati,
sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.

Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka.
Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.
Banyak ulama berbuat maksiat.
Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi.
Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.
Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda.
Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.

Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut.
Oleh karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin menjadi-jadi.
Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1).
Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930.
Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan menyerahkan diri
kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.

SERAT JOKO LODANG



Gambuh
Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon
kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.
Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan
bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah
sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan
(akan terjadi wolak waliking jaman),
karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya
Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini.
Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung
akan tetap masih terlihat bekasnya.
Lain sekali dengan jurang yang curam
Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung,
namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor.
(Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi.
Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik
tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan).
Semuanya yang dituturkan diatas sudah menjadi kehendak Tuhan
akan terjadi pada tahun Jawa 1850.
(Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1).
Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.

RONGGO WARSITO

RONGGO WARSITO
Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan piwulang yang sangat berharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
Pada hari Senin Legi tanggal 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 atau tanggal 15 Maret 1802 Masehi kurang lebih jam 12.00 siang lahirlah seorang bayi putra dari RM. Ng. Pajangsworo dirumah kakek yang bernama R. Ng. Yosodipuro I, seorang Pujangga Keraton yang terkenal dijamannya. Bayi yang baru lahir itu diberi nama Bagus Burham.
Menurut serat "CANDRA KANTHA" buatan Raden Ngabehi Tjondropradoto antara lain menyebutkan bahwa : Raden Patah berputera R. Tejo ( Pangeran Pamekas). Pangeran Pamekas berputra Panembahan Tejowulan di Jogorogo.Panembahan Tejowulan berputra Tumenggung Sujonoputro seorang pujangga keraton Pajang. Kemudian Raden Tumenggung Sujonoputro berputra Tumenggung Tirtowiguno. Sedangkan Tumenggung Tirtowiguno ini mempunyai putra R. Ng.Yosodipuro I pujangga keraton Surakarta. Kemudian sang pujangga berputra R. Ng. Yosodipuro II (Raden Tumenggung Sastronegoro) ayah dari Bagus
Burham.
(Dari sumber lain menyebutkan bahwa R. Tumenggung Sastronegoro bukan ayah Bagus Burham tetapi kakeknya). Dari silsilah tersebut diketahui bahwa Bagus Burham masih ada keturunan darah raja.
Sejak umur 2 tahun sampai 12 tahun Bagus Burham ikut kakeknya. Ayahnya bernama R. Tumenggung Sastronegoro II yang mengharapkan anaknya dikelak kemudian hari menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negaranya.

Semasa kecil beliau diasuh oleh
abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik).
Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya
kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian
hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.
Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Menjelang dewasa (1813 Masehi), oleh sang ayah, Bagus Burham dikirim ketempat pendidikan yang memungkinkan dapat mendidik anaknya lebih baik dari dirinya sendiri. Waktu itu pondok Pesantren dikawasan Ponorogo yang dipimpin oleh Kyai Imam Besari terkanal sampai dipusat Kerajaan Surakarta. Kesanalah Bagus Burham dikirim untuk mendapatkan tambahan ilmu lahir batin serta keagamaan. Pondok Tegalsari yang dipimpin Kyai Imam Besari ini mempunyai murid yang banyak dan memiliki kepandaian yang pilih tanding. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanudjaja.
Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-maju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Ponorogo mempunyai tabiat buruk yang berupa kesukaan berjudi. Ditempat yang baru itu Bagus Burham sangat malas. Ditambah lagi lebih suka menjalankan maksiat dari pada mengaji. Berjudi adalah merupakan pekerjaannya setiap hari. Juga pekerjaan maksiat yang lainnya. Adu ayam termasuk kesukaan yang tidak pernah diluangkan. Dari pada mengaji hari-harinya dihabiskan dimeja-meja judi dari satu desa ke desa lainnya. Sehingga terkenallah Bagus Burham bukan sebagai santri yang soleh tetapi sebagai penjudi ulung dikalangan orang-orang di daerah Ponorogo.Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum nampak. Dasar seorang anak Tumenggung, uang banyak dan biasanya dimanja oleh orang tua atau kakeknya. Karena kegemarannya bermain judi, adu ayam dan perbuatan-perbuatan maksiat yang lain Bagus Burham banyak berkenalan dengan warok-warok Ponorogo yang satu kegemaran. Perbuatan putra Tumenggung ini sangat merepotkan hari Kyai Imam Besari. Diharapkan seorang putra priyayi keraton ini akan memberi suri teladan bagi muridmurid(santri-santri) yang lein tetapi ternyata sebaliknya. Seringkali Bagus Burham mendapat teguran dan marah dari Kyai Besari. Namun hal itu tidak merubah sifatnya. Dia tetap penjudi, tetap penyabung ayam, tetap gemar pada tindakan-tindakan yang menjurus ke maksiat.
Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong
yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu.
Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan Ngali, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta. Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.

Kyai Imam Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burham dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda serta neneknya diSolo/Surakarta. Betapa bingungnya Raden Tumenggung Sastronegoro tatkala mendapat laporan Kyai Imam Besari bahwa puteranya pergi dari
Tegalsari. Raden Tumenggung Sastranegara memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta mencarinya.
Kyai Imam Besari kembali dari Keraton Solo mendapat laporan dari penduduk Tegalsari bahwa sekarang daerah Tegalsari tidak aman. Banyak pencuri serta tanaman diserang hama. Kyai Imam Besari memohon petunjuak dari Tuhan. Mendapatkan ilham bahwa keadaan daerahnya akan kembali aman damai apabila Bagus Burham kembali ke Tegalsari lagi. Oleh karena itu Kyai Imam Besari segera mengutus ki Kromoleyo agar supaya berangkat mencari kemana gerangan perginya Bagus Burham. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya. Bagi Ki Kromoleyo bukan pekerjaan yang sulit mencari Bagus Burham. Sebab dia tahu kehidupun macam apa yang digemari Bagus Burham. Tempat judi, tempat adu ayam. Itulah sasaran Ki Kromoleyo.Para penjudi dan pengadu ayam ditanyakan apakah kenal dengan pemuda yang bernama Bagus Burham. Orangnya tampan. Jejak Bagus Burham akhirnya terbau juga. Ki Kromoleyo dapat menemukan Bagus Burham dan mengajak kembali keTegalsari. Namun Bagus Burham tidak mau.
Karena bujukan Ki Josono utusan orang tuanya yang kebetulan juga sudah menemukan tempat Bagus Burham maka kembalilah Bagus Burham ke Tegalsari. Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burham tidak mereda. Kyai Imam Besari menghadapi Bagus Burham dengan cara lain. Sebab ternyata sekembalinya dari petualangannya Bagus Burham bukan semakin rajin mengaji tetapi semakin goblok dan bodoh. Tampaknya menghadapi murid yang demikian Kyai yang sudah berpengalaman itu lalu mengambil jalan lain. Bagus Burham tidak langsung diajar mengaji seperti santri-santri yang lain. Dia bukan keturunang orang biasa tetapi masih memiliki darah satriya. Maka tidak mengherankan kalau dia juga memiliki/mewarisi sifat-sifat leluhurnya. Gemar sekali kepada hal-hal yang memperlihatkan kejantanan seperti adu ayam dan lain sebagainya. Darah bangsawan yang biasanya sangat suka adu jago tetapi gemar melakukan tapa brata. Kesinilah Imam Kyai Besari mengarahkan. Disamping diberi pelajaran mengaji seperti murid yang lain maka Bagus Burham juga disuruh melakukan "tapa kungkum". Dari sini terbukalah hati Bagus Burham. Dikeheningan malam, dengen gemriciknya suara air, diatasnya bintang-bintang berkelap-kelip seolah-oleh menyadarkan Bagus Burham yang usianya juga sudah semakin dewasa itu. Dengan demikian muncul kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.  Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan dalam belajar. Setelah menjalani tapa kungkum selama 40 hari lamanya maka Bagus Burham tumbuh menjadi anak yang pandai. Kyai Imam Besari tersenyum lega melihat perkembangan anak asuhnya yang paling bengal itu. Terapinya kena sekali. Padahal terapi itu hanya berdasarkan dongeng yang pernah didengarnya.Bahwa dahulu kala ada seorang pemuda yang bengal, nakal, penjudi, pemalas,perampok yang bernama Ken Arok. Namun karena ketekunan seorang pendidik yang bernama Loh Gawe maka akhirnya Ken Arok enjadi raja di Singosari. Menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Dari Mojopahit sampai ke Surakarta semua menurut silsilah masih keturunan langsung dari Ken Arok. Dan R. Patah pun keturunan Ken Arok. Jadi Bagus Burham juga keturunan Ken Arok. Siapa tahu kenakalannya juga turunan yang dikelak kemudian hari akan menjadi orang yang luar biasa.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-kawannya. Bagus Burham menjadi murid yang terpandai. Selama 4 tahun dipondok Tegalsari ilmu gurunya sudah terkuran habis. Tidak ada sisanya lagi. Kyai Imam Besari memuji keluhuran Tuhannya. Dia melimpahkan habis ilmunya kepada muridnya. Setelah dirasa cukup maka Bagus Burham kembali ke Surakarta dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Sastranegara. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang amat berguna baginya.
Setelah dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Oleh tuanya Bagus Burham disuruh langsung ke Demak untuk belajar mengenal sastra Arab dan kebatinan jawa pada Pangeran Kadilangu. Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.
Apakah ayahnya punya maksud agar kelak anaknya dapat menandingi kepandaian rajanya ? Bagus Burham seorang kutu buku yang luar biasa. Dengan bekal kepandaian yang dimiliki dari beberapa guru-gurunya, Bagus Burham kemudian menekuni soal kesusastraan Jawa serta peninggalan-peninggalan nenek moyang. Buku-buku berbahasa kawi kuna ditelaah dan dipelajarai sebaik-baiknya. Jiwa petualang masih juga membara dalam kalbunya. Dia seringkali mengadakan perjalanan dari satu daerah kedaerah yang lain. Bagus Burham meninjau tempat-tempat yang bersejarah, tempat-tempat yang mengandung nilai-nilai historis, tempat-tempat yang keramat, ke candi-candi dan tempat-tempat penting lainnya. Disembarang tempat dipelbagai daerah kalau dianggap ada orang yang memiliki kepandaian lebih maka tidak malu-malu Bagus Burham berguru para orang tersebut. Tidak peduli dia hanyalah seorang juru kunci atau orang biasa.
Setelah tamat berguru, Pada usia 18 tahun sebagaimana kebiasaan anak priyayi waktu itu ingin mengabdikan dirinya kepada keraton. Caranya haruslah dengan magang (pegawai percobaan) pada Kadipaten Anom. Jiwa senimannya atau darah kepujanggaannya terasa mengalir deras ditubuhnya. Tidak merasa puas dengan pekerjaan magang tersebut. Maka Bagus Burham mohon pamit sebab dirasa tidak ada kemajuan. Dia ingin mengembara ingin bertualan menuruti gejolak darah senimannya. Hampir seluruh pelosok pulau Jawa telah dijelajahi oleh Bagus Burham. Bahkan juga luar jawa sepeti Bali, Lombok, Ujung Pandang, Banjarmasin bahkan ada sumber yang mengatakan pengembaraan Bagus Burham sampai di India dan Srilanka. Melihat perjalanan hidupnya seperti tersebut diatas pantaslah kalau Bagus Burham menjadi manusia yang kritis menghadapi suatu persoalan. (Ungkapan perasaannya tampak ada karyanya " Serat Kala Tida ")

Pulang dari pengembarannya Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom. Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Karena sang mertua diangkat menjadi Bupati di Kediri maka Bagus Burhampun mengikuti ke Kediri. Ditempat tersebut yang terkenal sebagai tempat bersejarah banyak peninggalan-peninggalan dari jaman terdahulu. Di Kediri pernah berdiri kerajaan besar dimana salah satu rajanya adalah Sang Prabu Joyoboyo. Waktu sang prabu berkuasa agaknya keadaan negara sangat tenteram dan damai terbukti lahirnya beberapa karya sastra besar. Sang Prabu memerintahkan kepada Empu Sedah dan Empu Panuluh agar menceritakan kembali atau menyusun ceritera BARATAYUDAHA dalam bahasa yang lebih muda diambil dari buku Maha Barata asli dari India. Demikian indahnya gubahan tersebut sehingga banyak yang mengira bahwa kejadian itu terjadi di tanah Jawa. Sebelum raja Joyoboyo, di Kediri juga lahir hasil sastra yang tinggi mutunya. Smara Dahana kitab karya Empu Darmaja, juga buku Sumana Sentaka karya Triguna merupakan hasil sastra yang sulit dicari bandingannya. Di daerah yang seperti itu tentu saja banyak peninggalan-peninggalan berupan rontal-rontal yang dimiliki penduduk warisan dari nenek moyang. Dengan tekun Bagus Burham di Kediri waktunya dihabiskan untuk mempelajari rontal-rontal yang dapat dikumpulkan dari perbagai daerah. Dari rontal-rontal, pengalaman/ pengetahuan selama mengembara dan berguru itulah dia dapat menimba pelbagai ilmu.
Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi  perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnyabertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya
yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya.
Dengan CF.Winter, Ranggawarsita membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra Jawi.
Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi Bramartani.

Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845 dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :


Pertama :
Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua :
Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.
Ketiga :
Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh
dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jayakawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai segala macam percobaan dan
dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali.
Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M.Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.